Translate

Kamis, 03 April 2014

Pendapat Para Ulama tentang Mafhum Mukhalafah

Ulama Hanafiyah tidak memandang mafhum mukhalafah sebagai salah satu metode penafsiran nash-nash syara’. Tegasnya menurut mereka, mafhum mukhalafah itu bukan suatu metode untuk penetapan hukum. Alasan mereka adalah sebagai berikut :
1.     Sesungguhnya banyak nash syara’ yang apabila diambil mafhum mukhalafahnya akan rusak pengertiannya, antara lain seperti ayat :



Apabila ayat tersebut diambil mafhum mukhalafahnya akan mempunyai arti bahwa berbuat zalim diharamkan hanya pada empat bulan tersebut saja, sedangkan di luar itu tidak haram. Padahal berbuat zalim itu diharamkan pada setiap saat.
2.     Sifat-sifat yang terdapat pada nash syara’, dalam banyak hal bukan untuk pembatasan hukum, melainkan untuk targib dan tarhib. Misalnya ayat :



Sifat anak tiri pada ayat tersebut, adalah anak tiri yang ada dalam pemeliharaan. Apabila diambil mafhum mukhalafahnya hal itu berarti mengawini anak tiri yang di luar pemeliharaan adalah halal. Padahal syara’ tetap mengharamkan.
3.     Seandainya mafhum mukhalafahnya itu dapat dijadikan hujjah syara’ maka suatu nash yang telah menyebut suatu sifat tidak perlu lagi disebut nash yang menerangkan hukum kebalikan hukum dari sifat tersebut. Pada kenyataannya penyebutan seperti itu banyak ditemukan. Misalnya ayat :




Menurut jumhur ushuliyyin, mafhum mukhalafahnya dapat dijadikan sebagai hujjah syara’. Alasannya antara lain :
·         Berdasarkan logika, setiap syarat atau sifat tidak mungkin dicantumkan tanpa tujuan dan sebab. Sebabnya itu tidak lain adalah untuk qayyid (pembatasan) hukum selama tidak ada dalil yang menunjukan bahwa dicantumkannya suatu sifat itu untuk targib, tarhib, dan tanfir.
·         Sikap Rasulullah yang tidak menyalahkan Umar Ibnu Khattab dalam memahami mafhum mukhalafah dari ayat 10 An-Nisa’. Namun, Rasulullah menjelaskan bahwa qasar shalat dalam perjalanan dibolehkan sekalipun dalam keadaan aman.
Ulama yang memakai mafhum mukhalafah sebagai hujjah menyebutkan beberapa syarat, yaitu :
a.      Mafhum mukhalafah-nya tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, seperti mantuq atau mafhum mukhalafah.
b.     Qayid atau pembatasan yang terdapat pada suatu nash tidak berfungsi yang lain, seperti :


c.      Tidak ada dalil khusus yang membatalkan mafhum mukhalafah itu, seperti ayat :


Mafhum mukhalafahnya, laki-laki wajib diqisas apabila ia membunuh wanita, dibatalkan dengan ayat 45 surat Al-Ma’idah, dan hadis. (Abu Zahrah: 152)
Macam-macam Mafhum mukhalafah
Apabila qayid dalam hukum mantuq berlaku pada mafhum mukhalafah maka mafhum mukhalafah ini bisa terdiri atas bermacam-macam qayid. Al-Amidi menhitung jumlah mafhum itu sebanyak sepuluh macam, yaitu : mafhum sifat, mafhum illat, mafhum syarat, mafhum a’dad, mafhum gayah, mafhum laqab, mafhum hasr, mafhum hal, mafhum zaman, dan mafhum makna. Asy-Syaukani juga menyebutkan mafhum mukhalafah seperti itu, namun ia memasukan ketiga mafhum yang disebut terakhir pada mafhum sifat. (Asy-Syaukani, 1973 : 181-183).
Mafhum Sifat
Mafhum Sifat ialah petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menunjukan berlakunya kebaikan hukum terhadap yang tidak disebutkan, karena tidak terdapat sifat yang menjadi qayid pada lafazh tersebut, seperti sabda nabi :


Hadis ini secara mantuq-nya menunjukkan wajibnya zakat dalam kambing yang saa’imah. Dan secara mafhum mukhalafah-nya menunjukkan tidak ada kewajiban zakat pada kambing yang ma’lufah(diberi makan).
Hal ini karena tidak ada sifat yang digembalakan secara bebas (sa’un) yang menjadi qayid wajibnya zakat menurut mantuq-nya. Yang dimaksud sifat disini adalah mutlaq sifat, baik sifat menurut ilmu nahwu seperti :


Atau mudlaf seperti :


Pendapat Para Ulama tentang Mafhum Sifat
Sikap ulama terhadap kehujjahan mafhum sifat dibagi menjadi tiga pendapat :
1.     Mafhum sifat dapat dijadikan sebagai hujjah. Ia dipandang sebagai salah satu cara untuk menggali hukum. Apabila suatu hukum dikaitkan dengan suatu sifat maka hukum itu tidak ada apabila sifatnya tidak ada. Pendapat ini dipegang oleh Malik, Asy-Syafi’I, Ahmad bin Hanbal, Al-Asy’ary, dan segolongan dari kalangan mutakallimin (Al-Amidi, 1968, III : 103, Asy- Syaukani, 1973, 168)
Alasan meraka adalah sebagai berikut :
a.      Para ahli bahsa memakai mafhum sifat.
b.     Dicantumkannya suatu sifat dan pembatasan suatu kalimat pasti mempunyai kegunaaan. Untuk lebih jelasnya perhatikan dalil-dalil berikut ini :
Pertama : Sabda nabi yang berbunyi :

Abu Ubadah mendifinisikan hadis tersebut, bahwa Rasulullah dengan hadis ini bermaksud menjelaskan orang yang tidak mampu membayar suatu kewajiban (utang) tidak boleh dihukum dan dipenjarakan.
Pemahaman seperti ini, juga dipakai oleh ahli bahasa yang lain seperti Imamnya, Syafi’I dan Al-Usmu’i.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa para ahli bahasa memakai mafhum sifat.
Kedua, nash syara’ baik Al-Qur’an ataupun Sunah memakai salah satu qayid dari berbagai qayid, seperti : qayid sifat lainnya mesti mengandung faedah ; seperti untuk penguat dan penekanan atau untuk menjelaskan kebiasaan umum. Apabila kehendak menafsirkan nash syara’ atau kehendak menerapkan nash syara’ terhadap suatu kasus maka harus membahas kegunaan atau faedah pencantuman qayidpada suatu nash. Sehingga faedah tersebut tidak jelas, maka qayid (pembatasan) itu hanya untuk men-taqyid hukum yang mengandung sifatnya itu. Dalam hal ini seandainya pada taqyid dengan sifat menunjukkan tidak adanya hukum dari dalil-dalil lain, maka pasti pencantuman sifat yang menjadi qayid hukum pada suatu nash tidak ada faedahnya.
2.     Mafhum sifat itu tidak dapat dijadikan hujjah karena bukan merupakan suatu metode untuk menetapkan hukum. Apabila suatu hukum dibatasi dengan sifat tidak berarti bahwa hukum itu hilang dengan hilangnya ayat tersebut. Apabila ternyata ada suatu hukum yang bertentangan dengan hukum yang dibatasi dengan sifat, hal ini tidak berarti hukum itu diambil dari mafhum sifat-nya karena ada dalil lain. Pendapat ini dipegang oleh golongan Hanafiyah, Malikiyah, Al-Ghazali, dan Al-Amididari golongan Syafi’iyyah (Al-Amidi, 1968, III : 103)
Demikian pula pendapat syi’ah Imamiyah dan Zaidiyyah, dan sebagian ahli bahasa, seperti Al-Ahjas dan Ibnu Fars. mafhum mukhalafah yang lainnya, seperti mafhum illat, mafhum zaman, dan mafhum makna pada hakikatnya dapat dikatakan sama dengan mafhum sifat, dari segi bisa tidaknya dijadikan hujjah syara’. Lain halnya dengan mafhum laqab, ulama sepakat bahwa mafhum laqab ini tidak bisa dijadikan hujjah kecuali laqab-nyadari isim sifat, bukan isim jamid. Karena, pencantuman laqab pada suatu kalimat tidak mempunyai arti pembatasan makna meliputi laqab itu sendiri.
Demikian pula halnya mafhum hasyr tidak diperselisihkan tentang kehujjahannya. Sebab pada hakikatnya, ia bukan mafhum, melainkan termasuk mantuq. Di mana adawat (alat) hasr bisa dipasangkan.
Mafhum Syarat, Adad, dan Ghayah
Seperti telah dijelaskan di muka bahwa ulama yang memakai mafhum mukhalafah memberikan beberapa syarat, antara lain bahwa pembatasan atau qayid yang terdapat pada suatu lafazh harus berfungsi. Oleh karena itu, mafhum mukhalafah yang qayid-nya berfungsi seperti mafhum syarat, adad, dan ghayah dapat dijadikan hujjah syara’. Mereka beralasan dengan alasan yang sama dengan alasan kehujjahan mafhum mukhalafah dari sifat. Sedangkan ulama yang tidak memandang mafhum mukhalafah sebagai hujjah syara’ tetap berpendapat bahwa ketiga macam mafhum mukhalafah tersebut tidak dapat dijadikan hujjah syara.