Pendapat Para Ulama tentang Mafhum Mukhalafah
Ulama Hanafiyah tidak
memandang mafhum mukhalafah sebagai salah satu metode
penafsiran nash-nash syara’. Tegasnya menurut mereka, mafhum mukhalafah itu bukan suatu metode untuk
penetapan hukum. Alasan mereka adalah sebagai berikut :
1. Sesungguhnya banyak nash syara’ yang apabila diambil mafhum mukhalafahnya akan rusak pengertiannya, antara
lain seperti ayat :
Apabila ayat tersebut
diambil mafhum mukhalafahnya akan mempunyai arti bahwa berbuat
zalim diharamkan hanya pada empat bulan tersebut saja, sedangkan di luar itu
tidak haram. Padahal berbuat zalim itu diharamkan pada setiap saat.
2. Sifat-sifat yang terdapat pada nash syara’, dalam banyak hal
bukan untuk pembatasan hukum, melainkan untuk targib dan tarhib. Misalnya ayat :
Sifat anak tiri pada
ayat tersebut, adalah anak tiri yang ada dalam pemeliharaan. Apabila diambil mafhum mukhalafahnya hal itu berarti mengawini anak tiri
yang di luar pemeliharaan adalah halal. Padahal syara’ tetap mengharamkan.
3. Seandainya mafhum mukhalafahnya itu dapat dijadikan hujjah syara’ maka
suatu nash yang telah menyebut suatu sifat tidak
perlu lagi disebut nash yang menerangkan hukum kebalikan hukum
dari sifat tersebut. Pada kenyataannya penyebutan seperti itu banyak ditemukan.
Misalnya ayat :
Menurut jumhur
ushuliyyin, mafhum
mukhalafahnya dapat dijadikan
sebagai hujjah syara’. Alasannya antara lain :
·
Berdasarkan
logika, setiap syarat atau sifat tidak mungkin dicantumkan tanpa tujuan dan
sebab. Sebabnya itu tidak lain adalah untuk qayyid (pembatasan) hukum selama tidak
ada dalil yang menunjukan bahwa dicantumkannya suatu sifat itu untuk targib, tarhib, dan tanfir.
·
Sikap
Rasulullah yang tidak menyalahkan Umar Ibnu Khattab dalam memahami mafhum mukhalafah dari ayat 10 An-Nisa’. Namun, Rasulullah menjelaskan
bahwa qasar shalat dalam perjalanan dibolehkan
sekalipun dalam keadaan aman.
Ulama yang memakai mafhum mukhalafah sebagai hujjah menyebutkan beberapa
syarat, yaitu :
a. Mafhum mukhalafah-nya tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat,
seperti mantuq atau mafhum mukhalafah.
b. Qayid atau
pembatasan yang terdapat pada suatu nash tidak berfungsi yang lain, seperti :
c. Tidak ada dalil khusus yang
membatalkan mafhum mukhalafah itu, seperti ayat :
Mafhum
mukhalafahnya, laki-laki wajib diqisas
apabila ia membunuh wanita, dibatalkan dengan ayat 45 surat Al-Ma’idah, dan hadis. (Abu Zahrah: 152)
Macam-macam Mafhum mukhalafah
Apabila qayid dalam hukum mantuq berlaku pada mafhum mukhalafah maka mafhum
mukhalafah ini bisa terdiri
atas bermacam-macam qayid.
Al-Amidi menhitung jumlah mafhum itu sebanyak sepuluh macam, yaitu : mafhum sifat, mafhum illat, mafhum
syarat, mafhum a’dad, mafhum gayah, mafhum laqab, mafhum hasr, mafhum hal,
mafhum zaman, dan mafhum makna. Asy-Syaukani juga
menyebutkan mafhum mukhalafah seperti itu, namun ia memasukan ketiga mafhum yang disebut terakhir pada mafhum sifat. (Asy-Syaukani,
1973 : 181-183).
Mafhum
Sifat
Mafhum Sifat ialah
petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menunjukan berlakunya kebaikan hukum
terhadap yang tidak disebutkan, karena tidak terdapat sifat yang menjadi qayid pada lafazh tersebut, seperti sabda nabi :
Hadis ini secara mantuq-nya menunjukkan wajibnya
zakat dalam kambing yang saa’imah.
Dan secara mafhum mukhalafah-nya
menunjukkan tidak ada kewajiban zakat pada kambing yang ma’lufah(diberi makan).
Hal ini karena tidak
ada sifat yang digembalakan secara bebas (sa’un) yang menjadi qayid wajibnya zakat menurut mantuq-nya. Yang dimaksud sifat
disini adalah mutlaq sifat, baik sifat menurut ilmu nahwu seperti :
Atau mudlaf seperti :
Pendapat
Para Ulama tentang Mafhum Sifat
Sikap ulama terhadap
kehujjahan mafhum sifat dibagi menjadi tiga pendapat :
1. Mafhum sifat dapat
dijadikan sebagai hujjah.
Ia dipandang sebagai salah satu cara untuk menggali hukum. Apabila suatu hukum
dikaitkan dengan suatu sifat maka hukum itu tidak ada apabila sifatnya tidak
ada. Pendapat ini dipegang oleh Malik, Asy-Syafi’I, Ahmad bin Hanbal,
Al-Asy’ary, dan segolongan dari kalangan mutakallimin (Al-Amidi, 1968, III :
103, Asy- Syaukani, 1973, 168)
Alasan meraka adalah sebagai berikut :
a. Para ahli bahsa memakai mafhum sifat.
b. Dicantumkannya suatu sifat dan
pembatasan suatu kalimat pasti mempunyai kegunaaan. Untuk lebih jelasnya
perhatikan dalil-dalil berikut ini :
Pertama : Sabda nabi yang berbunyi :
Abu Ubadah
mendifinisikan hadis tersebut, bahwa Rasulullah dengan hadis ini bermaksud
menjelaskan orang yang tidak mampu membayar suatu kewajiban (utang) tidak boleh
dihukum dan dipenjarakan.
Pemahaman seperti
ini, juga dipakai oleh ahli bahasa yang lain seperti Imamnya, Syafi’I dan
Al-Usmu’i.
Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa para ahli bahasa memakai mafhum sifat.
Kedua, nash syara’ baik
Al-Qur’an ataupun Sunah memakai salah satu qayid dari berbagai qayid, seperti : qayid sifat lainnya mesti mengandung faedah ;
seperti untuk penguat dan penekanan atau untuk menjelaskan kebiasaan umum.
Apabila kehendak menafsirkan nash
syara’ atau kehendak
menerapkan nash syara’ terhadap suatu kasus maka harus
membahas kegunaan atau faedah pencantuman qayidpada
suatu nash. Sehingga
faedah tersebut tidak jelas, maka qayid (pembatasan) itu hanya untuk men-taqyid hukum yang mengandung sifatnya itu.
Dalam hal ini seandainya pada taqyid dengan sifat menunjukkan tidak
adanya hukum dari dalil-dalil lain, maka pasti pencantuman sifat yang menjadi qayid hukum pada suatu nash tidak ada faedahnya.
2. Mafhum sifat itu tidak dapat dijadikan hujjah karena bukan merupakan
suatu metode untuk menetapkan hukum. Apabila suatu hukum dibatasi dengan sifat
tidak berarti bahwa hukum itu hilang dengan hilangnya ayat tersebut. Apabila
ternyata ada suatu hukum yang bertentangan dengan hukum yang dibatasi dengan
sifat, hal ini tidak berarti hukum itu diambil dari mafhum sifat-nya karena ada
dalil lain. Pendapat ini dipegang oleh golongan Hanafiyah, Malikiyah,
Al-Ghazali, dan Al-Amididari golongan Syafi’iyyah (Al-Amidi, 1968, III : 103)
Demikian pula
pendapat syi’ah Imamiyah dan Zaidiyyah, dan sebagian ahli bahasa, seperti
Al-Ahjas dan Ibnu Fars. mafhum
mukhalafah yang lainnya, seperti mafhum illat, mafhum zaman, dan
mafhum makna pada hakikatnya
dapat dikatakan sama dengan mafhum
sifat, dari segi bisa tidaknya dijadikan hujjah syara’. Lain halnya dengan mafhum laqab, ulama sepakat
bahwa mafhum laqab ini tidak bisa dijadikan hujjah
kecuali laqab-nyadari isim sifat, bukan isim jamid. Karena, pencantuman laqab pada suatu kalimat tidak mempunyai
arti pembatasan makna meliputi laqab itu sendiri.
Demikian pula halnya mafhum hasyr tidak diperselisihkan tentang
kehujjahannya. Sebab pada hakikatnya, ia bukan mafhum, melainkan termasuk mantuq. Di mana adawat (alat) hasr bisa dipasangkan.
Mafhum
Syarat, Adad, dan Ghayah
Seperti telah
dijelaskan di muka bahwa ulama yang memakai mafhum
mukhalafah memberikan
beberapa syarat, antara lain bahwa pembatasan atau qayid yang terdapat pada suatu lafazh harus berfungsi. Oleh karena itu, mafhum mukhalafah yang qayid-nya
berfungsi seperti mafhum
syarat, adad, dan ghayah dapat dijadikan hujjah syara’. Mereka beralasan dengan
alasan yang sama dengan alasan kehujjahan mafhum
mukhalafah dari sifat.
Sedangkan ulama yang tidak memandang mafhum
mukhalafah sebagai hujjah syara’ tetap berpendapat bahwa ketiga macam mafhum mukhalafah tersebut tidak dapat dijadikan hujjah syara.’